kondisi hukum indonesia
Selasa, 11 Oktober 2011
KONDISI HUKUM INDONESIA
TUGAS MATA KULIAH BAHASA INDONESIA II
ACHMAD FAUZI
23209743
2EB09
LATAR BELAKANG
Hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya menjadi persoalan hukum. Hukum juga berdimensi ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga politik. Harus diakui, dengan ragam persoalan hukum yang terjadi di negri ini, wacana yang dimunculkan seharusnya bagaimana proses hukum baik peradilan, penerapan, maupun penegakan hukum lebih ditekankan menjadi pembelajaran hukum bagi warga negara pada negara yang jelas-jelas menyatakan dirinya sebagai sebuah negara hukum.
Hal yang menonjol dalam paradigma sebuah negara yang berlandaskan hukum adalah pengedepanan keseimbangan tatanan masyarakat melalui penegakan peraturan hukum oleh lembaga peradilan yang bebas, mandiri, dan adil serta konsisten terhadap pelanggarnya. Kebebasan demikian juga harus meliputi kebebasan lembaga peradilan terhadap campur tangan pihak ekstrayuridisiil. Dalam konteks demikian, sesungguhnya kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas dan kausa universal.
ISI
Dalam perkembanngan negara modern, hampir semua negara mengklaim dirinya negara yang memberikan kebebasan pada lembaga peradilanya untuk menciptakan, menerapkan, dan menegakan hukumnya. Hanya, pelaksanaanya berbeda kadar disetiap negara. Kekuasaan kehakiman yang bebas tidak dapat dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab, gagasan tentang adanya kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum, terutama sejak timbul abad pencerahan didunia barat beberapa abad lalu.
Paradigma positifistik yang bersumber dari garis hukum Eropa Kontinental telah begitu kuat mengilhami hampir sebagian para hakim di Indonesia. Mekanisme perekrutan hakim yang lebih banyak berkutat pada aspek administratif ketimbang progresivitas intelektual dan profesionalitas hakim. Cepat atau lambat akan menyulitkan MA. Dalam jangka panjang putusan-putusan hakim yang penuh kontroversi dan jauh dari rasa keadilan masyarakat akan terus menghiasi institusi MA sebagai benteng terakhir sistem perdailan di Indonesia.
Paradigma yang memberikan peluang besar terhadap berperanya faktor prosedur, formalitas, dan tata cara dalam proses hukum diatas, telah menyebabkan perburuan terhadap keadilan menjadi sangat rumit. Akibatnya, kebenaran yang lahir dalam proses peradilan relatif tidak ditentukan oleh substansi perkara (fakta hukum), tetapi justru lebih ditentukan pada apkah proses sebuah hukum telah memenuhi prosedur dan tata cara peradilan, sehingga seseorang yang secara fakta hukum (substantif) terindikasi kuat bersalah, bisa menjadi tidak bersalah dan dinyatakan bebas ketika proses hukumya agak sedikit menyimpang dari hukum acara atau tata acara hukumnya (prosedural).
Seorang hakim dalam sistem dan hukum peradilan Indonesia memiliki kemandirian dan kebebasan menjalankan tugasnya. Ketentuan bebas dan mandiri ini dituangkan dalam sistem hukum formal dan hukum positif kita. Ia bebas dalam kasus peradilan dan penjatuhan hukuman. Namun kebebasan ini bukanlah sebebas-bebasnya. Ia juga harus mempertimbangkan hati nuraninya untuk mengadili. Demikian pula selama pemerikasaan, pembuktian, hingga pembacaan putusan perkara, juga terbebas dari kuasa campur tangan pihak ekstrayurididiil.
Memang dalam kenyatanya situasi ideal ini banyak dilanggar. Kiranya tidak mengherankan bila muncul pendapat miring singkatan hakim diplesetkan menjadi “hubungi aku kalau ingin menang”; KUHP menjadi “kasih uang habis perkara”.
KESIMPULAN
Secara gamblang didepan kita terpapar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya. Sedemikian banyak aturan hukum yang sudah ada, namun serentetan kasus baik yang terpublikasi atau tidak mempertontonkan ketidakprofesionalan aparat kepolisian terutama sebagai aparat negara yang diwajibkan secara penuh untuk melaksanakan kewajiban pokoknya dalam penegakan HAM. Serangkaian peristiwa salah tangkap adalah fakta yang terelakan dari agresifnya watak militer dalam institusi polisi dan juga institusi hukum negara ini. Mungkin masih banyak korban-korban peradilan sesat yang ada di Indonesia yang belum terpublikasi. Namun terlepas dari itu, praktik-praktik penyiksaan untuk mendapatkan keterangan dari terangka/terdakwa oleh aparat kepolisian sudah harus dihentikan. Setidaknya hal ini bisa menekan munculnya kasus peradilan sesat yang baru dan tidak ada lagi korban-korban penyiksaan atas nama kekekuasaan.
SOLUSI
Pembenahan di tubuh institusi penegak hukum di Indonesia sudah harus dilakukan secara revolusioner. Tahapan-tahapan yang ditempuh selama ini tetap saja menghasilkan aparat yang tidak sensitif HAM. Harapan kedepan kita dapat tersenyum gembira melihat para aparat penegak hukum di negara ini terutama Polri mejadi institusi yang profesional dimana mereka mampu membongkar suatu kasus tetapi tanpa dengan penyiksaan sehingga tidak ada lagi orang-orang yang dikorbankan untuk mengakui kejahatan yang tidak mereka lakukan.