ECONOMIC ANALYSIS OF LAw

Rabu, 13 April 2011


Peri Umar Farouk
Abstact:Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.

Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law and public policy including economic regulation of business; antitrust enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in economics is required; relevan economic concepts will developed through analysis of various legal applications.”v
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma dalam ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
  1. Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments) terbukti kurang efektif.
  2. Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.
  3. Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger, cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan.”ix
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.x
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan, maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade competition in the American economy. … It provides guidance to business and industry on what they may do under the laws administered by the commission. It also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual data on economic and business conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk lembaga baru.
Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia. Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
Kepustakaan
  • Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 - Tahun VIII, Jakarta, 1997.
  • Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II, Jakarta, 2000.
  • Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.
  • Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.
  • Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/.
  • Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta, 2000.
  • Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.
Endnote
i) Ronald Coase adalah pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi. Pendekatannya terkenal dengan nama ‘the Coase Theorem’, yang memberi penafsiran baru terhadap teori eksternalitas (externality), yakni berkenaan dengan analisis situasi di mana tindakan seseorang mengakibatkan beban biaya (atau keuntungan) bagi orang lain.
ii) Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999, hal. 1.
iii) Ibid., dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/, Chapter 1, hal. 1.
iv) Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hal. 1.
v) Definisi yang diberikan website resmi William and Mary School of Law, http://www.wm.edu/.
vi) Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II - 2000, hal. 23.
vii) Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, 1995, hal. 2.
viii) Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999, hal 60.
ix) Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28/Tahun VIII/Maret/1997, Jakarta, hal. 4.
x) Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hal. 43.
xi) Pasal 27 Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (draft pertama).
xii) Dibentuk berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
xiii) Dibentuk berdasarkan Pasal 31 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xiv) Dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xv) Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.

Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Malang

Agung Winarno

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang

 Abstract: Entrepreneurship training subject relate to the performing human attitudes, and consequences
of this condition the subject must consist of the aim of competency. The research outcome has indicated that
curriculum, subject resource, and teaching methods are still conventional implemented by teachers. The
teaching is still based on classical model. The test research has indicated that the effectiveness of student’s
entrepreneurship behaviour based on five indicators that are self confident, creativity, performing motivation,
daring to take risk and leadership indicating average score. It means that their attitudes were not
changing even though they got entrepreneurship subject at school. Internalisation teaching model as
specific model design is to be suggested through this entrepreneurship research. The reason is that this
model will make student to be fully involved with their better understanding.

Keywords: Internalisation teaching model, Entrepreneurship values

Pendidikan yang berbasis kewirausahaan adalah
pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan
metodologi ke arah internalisasi nilai-nilai pada peserta
didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi dengan
perkembangan yang terjadi baik di lingkungan sekolah
maupun lingkungan masyarakatnya serta penggunaan
model dan strategi pembelajarnn yang relefan dengan
tujuan pembelajaranyan itu sendiri. Lembaga pendidikan
tidak boleh hanya bertugas melahirkan banyaknya
lulusan, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah
seberapa besar lulusanya itu dapat menolong dirinya
sendiri dalam menghadapi tantangan di masyarakat
atau dengan kata lain sekolah haruslah meningkatkan
kecakapan hidup lulusannya (Anwar,2004)

Seseorang yang memiliki jiwa wirausaha adalah
mereka yang didalam kepribadiannya telah terinternalisasikan
nilai-nilai kewirausahaan, yakni kepribadian
yang memiliki tindakan kreatif sebagai nilai, gemar
berusaha, tegar dalam berbagai tantangan, percaya
diri, memiliki self determination atau locus of control,

Alamat Korespondensi:

Agung Winarno, Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Malang, telp. 085649905551; email:
agwin@um.ac.id

berkemampuan mengelola risiko, perubahan dipandang
sebagai peluang, toleransi terhadap banyaknya
pilihan, inisiatif dan memiliki need for achievement,
perfeksionis, perpandangan luas, menganggap waktu
sangat berharga serta memiliki motivasi yang kuat,
dan karakter itu semua telah menginternal sebagai
nilai-nilai yang diyakini benar (Kuratko, 2003).

Sekolah kejuruan sebagai salah satu model
lembaga pendidikan yang tujuannya adalah (1)
Menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja
serta mengembangkan sikap profesional (2) Menyiapkan
siswa agar mampu memilih karier, mampu
berkompetisi san mampu mengembangkan diri, (3)
Menyiapkan tenagas kerja tingkat menengah uyntuk
mengisi kebutuhan dunia usaha dan imdustri pada saat
ini mapun pada masa yang akan datang, dan (4)
Menyiapkan tamatan agar menjadi warga negara yang
produktif, adaptif dan kreatif, maka Lembaga ini
sebenarnya memiliki tanggung jawab yang sangat
relevan terhadap pembentukan jiwa kewirausahaan
bagi lulusannya.

Kontribusi Sekolah kejuruan dalam masalah ini
terus dipertanyakan banyak pihak, selain karena
banyak lulusan yang tidak memenuhi kualifikasi yang
disaratkan oleh sektor pengguna artinya tujuan poin
1–3 kurang tercapai, terlebih lagi apabila dikaitkan

124



Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang
dengan kesempatan kerja yang terbatas, Lulusan
Sekolah kejuruan yang seharusnya bisa langsung
masuk dunia kerja, hingga kini masih jauh dari harapan,
Oleh karenanya, maka lulusan SMK seharusnya tidak
difokuskan pada penyiapan menjadi tenaga kerja dunia
usaha, melainkan penekanan kepada kemauan
menjadi wirausaha menjadi mengemuka, namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa minat lulusan SMK
untuk menjadi wirausaha masih kecil (Sutjipto,2001)
Oleh karenanya, masalah ini haruslah menjadi
tanggung jawab Lemba pendidikan sebagai penyebar
nilai-nilai, yakni bagaimana nilai kewirausahaan itu
benar-benar menjadi minat kuat bagi lulusannya Minat
siswa terhadap kewiraswastaan muncul bila terdapat
keyakinan yang kuat untuk berwiraswasta, dan pekerjaan
tersebut mereka anggap penting sehingga ia akan
memperoleh imbalan yang memadai.

Pembentukan budaya kewirausahaan salah satu
pendekatan adalah melalui proses pendidikan, Cambers
(1982) menyatakan bahwa martabat yang mulia
(dignity) harus dibina melalui proses mental dan
rasionalitas dalam pendidikan. Pendidikan adalah
sebagai proses dimana suatu budaya secara formal
ditransmisikan kepada si pembelajar, yang berfungsi
sebagai tranmisi pengetahuan, pengemongan manusia
muda, mobilitas sosial, pembentukan jati diri dan kreasi
pengetahuan. Lebih rinci Keller, dkk. (1997) dan
Choueke dan Amstrong (1988)S mengatakan bahwa
terdapat 7 (tujuh) fungsi sosial pendidikan yaitu (1)
pengajar keterampilan,(2) mentransmisikan budaya,

(3) mendorong adaptasi lingkungan, (4) membentuk
kedisiplinan, (5) mendorong bekerja kelompok, (6)
meningkatkan perilaku etik, dan (7) memilih bakat dan
memberi penghargaan prestasi.
Namun demikian Winarno (2007) yang melakukan
penelitian tentang efektivitas pembelajaran
kewirausahaan di kelas kewirausahaan SMK di
Malang menununjukkan bahwa materi dan strategi
pembelajaran kewirausahaan tidak cukup efektif
dalam mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan
siswa. Demikian pula, pemahaman masalah kewirausahaan
para pengelola (wali kelas, guru dan pembimbing)
telah berkontribusi pula dalam kegagalan
pencapaian tujuan kelas kewirausahaan.

Penelitian ini dirancang untuk melakukan kajian
mendalam dalam rangka menemukan model pembelajaran
internalisasi nilai-nilai kewirausahaan yang

sesuai dengan perkembangan kejiwaan siswa SMK,
termasuk di dalamnya ditemukan materi, strategi dan
media pembelajran yakni meliputi: diskripsi strategi
pembelajaran kewirausahaan yang berlangsung
terkait dengan relefansinya pencapaian tujuan pembelajaran
kewirausahan, mengekplorasi dan mendokumentasi
berbagai kelebihan dan kelemahan pembelajaran
kewirausahaan.

METODE

Penelitian ini tahap awal dari dua tahap yang
direncanakan, pendekatan yang digunakan adalah
”elektik approach” atau disesuaikan dengan
tahapannya. Penelitian ini lebih banyak digunakan
pendekatan deskriptif kualitatif (ekploratif), Kualitatif,
karena data yang akan dikumpulkan besifat data lunak
(soft), penekanan pada diskripsi-diskripsi tentang orang,
tempat dan percakapan dan tidak menekankan
penggunaan prosedur statistik, diskripsi tentang model
yang diterapkan, kendala dan kelemahan menjadi
fokus utama tahap ini. Tentu berbeda dengan tahap
berikutnya yang lebih menekankan pada uji coba model
serta uji hipotesis efektifitas model pembelajaran
(pengembangan dan causalitas).

Penelitian ini akan mencakup proses pembelajaran
kewirausahaan mulai dari imput, proses sampai
output pembelajaran yang telah dilakukan. Temuan
tiap tahap penelitian dijadikan landasan untuk mengembangkan
model yang lebih efektif melalui
pengembangan model sesuai dengan alur model yang
direncanakan. Objek penelitian adalah SMK di Wilayah
Kota Malang dengan informan kunci para siswa,
guru dan Pengelola Sekolah, pengumpulan data selain
melalui kajian dokumen (kurikulum dan bahan ajar)
juga wawancara mendalam, serta pengamatan. Untuk
mengetahui tingkat sikap kewirausahaan siswa digunakan
intrumen tes yang dikembangkan oleh Winarno
(2008) yakni mengidentifikasi nilai-nilai kewirausahaan
berdasarkan 5 (lima) komponen dasar yakni kepercayaan
diri, kreatifitas, motivasi, sikap terhadap
risiko serta kepemimpinan. Analisis data juga dilakukan
asnalisis berkelanjutan, yakni pengumpulan,
analisis dan intepretasi dilakukan bisa jadi dalam
wakatu yang bersamaan sebagaimana dikemukakan
Bogdan, Robert, C., & Biklen S.K (1998).

 125 ISSN: 0853-7283

Agung Winarno Agung Winarno
HASIL
Karakteristik Input

Matadiklat kewirausahaan adalah matadiklat
kelompok adaptif, sehingga semua siswa SMK
mendapatkan materi ini, meskipun agak bervariasi
dalam penyajiannya, akan tetapi rata-rata SMK
memberikan matadiklat ini sejak semester pertama
(kelas 10), hasil ters terdapat informan tentang
perkembangan sikap atau nilai kewirausahaan siswa
berdasarkan instrumen telah disusun untuk menangkap
kecenderungan sikap siswa terhadap 5 unsur nilai
kewirausahaan, yakni tingkat kepercayaan diri,
kreatifitas, motivasi berprestasi, sikap terhadap risiko
serta kepemimpinanTabel 1 berikut menunjukkan nilai
skor siswa berdasarkan 5 kelompok nilai-nilai kewirausahaan
dimaksud.

Dari data yang disajikan dalam tabel 1 dapat
diberikan penjelasan bahwa skore kecenderungan
nilai atau sikap kewirausahaan siswa masih berada
di bawah standar yang diperlukan bagi seorang
wirausaha, sebagaimana instrumen ini dirancang oleh
Winarno (2008) skore minimal untuk dapat direkomendasi
memiliki nilai kewirausahaan yang memadai
adalah sebesar antara 125–150, namun hasil tes dari

sample skore nilai masih berada pada 91,743 hal ini
mengindikasikan bahwa pembelajaran kewirausahaan
di SMK masih belum banyak menyentuh terhadap
ranah afeksi yakni pembentukan nilai-nilai yang
diperlukan bagi seorang wirausaha.

Analisis Kurikulum

Dalam praktik pembelajaran kewirausahaan di
SMK guru menggunakan kurikulum yang berbeda dan
merupakan sajian kurikulum yang dianggap paling
sesuai untuk diterapkan di masing-masing SMK sesuai
dengan karakteristiknya. Berdasarkan analisis dengan
menggunakan tolak ukur pembelajaran nilai-nilai atau
sikap kewirausahaan, maka sejumlah materi yang
harus diberikan kepada siswa sebagian besar terkait
dengan keterampilan berbisnis, dan sedikit sekali yang
terkait dengan pengembangan sikap berwirausaha.
Tabel 1 berikut disajikan hasil analisis yang menggambarkan
kompetensi serta materi yang relevan
dalam pembentukan nilai atau sikap kewirausahaan
siswa.

Analisis Bahan ajar dan Media

Fokus identifikasi dalam penelitian ini adalah
bahan-bahan bacaan yang menjadi pegangan guru

Gambar 1. Angka unsur kecenderungan nilai kewirauswahaan

JURNAL EKONOMI BISNIS | TAHUN 14 | NOMOR 2 | JULI 2009 126

Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang
Tabel 1. Materi yang relevan menggunakan model pembelajaran internalisasi

No Kompetensi
Materi

1 Mengidentifikasi sikap dan prilaku
wirausaha
2 Menerapkan sikap dan prilaku kerja

prestatif (selalu ingin maju)
3 Merumuskan solusi masalah
4 Mengembangkan semangat

wirausaha

5
Membangun Komitmen bagi dirinya
dan orang lain

6 Mengambil Risiko Usaha
7 Membuat Keputusan
8 Menunjukkan sikap pantang

menyerah dan ulet
9 Mengelola konflik
10 Membangun visi dan misi usaha

11 Menganalisis Peluang usaha
12 Menganalisis Aspek-aspek
perencanaan usaha
13 Menyusun Proposal Usaha

14 Mempersiapkan pendirian usaha
15 Menghitung risiko menjalankan

usaha
16 Menjalankan usaha kecil
17 Mengevaluasi hasil usaha

dalam mengajar mata diklat kewirausahaan, termasuk
media pembelajran yang digunakan utuk mendukung
keberhasilan pembelajaran kewirausahaan.

Bahan ajar sebagai rujukan utama yang dimiliki
guru sangat terbatas. Rata-rata guru hanya memiliki
satu buku pegangan dan dibantu oleh LKS. Hasil
pengamatan tentang bahan ajar tidak banyak materimateri
yang dapat membentuk sikap kewirausahaan
siswa. Sebagaimana buku pegangan guru penerbitan
yang terbaru isi materi memang mengacu pada kurikulum
2006 (KTSP), akan tetapi dari isi materi sebagian
besar memuat tentang ketrampilan pengelolaan
usaha yang meliputi:

Tidak ada yang relevan

Tidak ada yang relevan

Tidak ada yang relevan


Inovatif

Kreatifitas

Motivasi

Sikap bekerja efektif dan efisien

Menerapkan perilaku tepat waktu

Menerapkan perilaku tepat janji

Menerapkan kepedulian terhadap mutu hasil
kerja

Menerapkan komitmen tinggi terhadap
pengengendalian diri
Tidak ada yang relevan
Tidak ada yang relevan
Melakukan sikap pantang meyerah dan ulet dalam
kegiatan usaha
Tidak ada yang relevan
Tidak ada yang relevan

Mengembangkan ide dan peluang usaha
Tidak ada yang relevan

Tidak ada yang relevan

Tidak ada yang relevan
Tidak ada yang relevan

Tidak ada yang relevan
Tidak ada yang relevan

Dalam praktik pembelajaran kewirausahaan di
beberapa sekolah lebih banyak menggunakan metode
pembelajaran ceramah, sedikit diskusi dan penugasan.
Sebagaimana hasil wawancara Guru menggunakan
media pembelajaran tertentu, di antaranya format
pendirian dan perijinan usaha, profil organisasi usaha,
format proposal usaha, objek nyata, demikian pula
yang dikemukakan guru lainnya yang mengatakan
menggunakan model praktik usaha terbimbing.
Demikian pula, media pembelajaran yang dipergunakan
oleh guru sangat minim, misalnya dalam
ceramah hanya menggunakan buku teks, power point.
Sementara penugasan lebih banyak dengan format

 127 ISSN: 0853-7283

Agung Winarno Agung Winarno
pengamtan. Itupun dalam durasi yang terbatas minimnya
penggunakan media sebagai mana dikatakan oleh
guru bahwa selain mereka terbatas dalam waswasan
dan pengalaman mengajar materi kewirausahaan,
jarang sekali ada forum-forum yang memberikan
kesempatan guru untuk meningkatkan keterampilan
mengajar mata diklat ini. Selain hal tersebut, guru juga
mengaku terikat oleh target pemenuhan standart
kompetensi dalam silabus yang digunakan sebagai
acuan dalam mengajar.

Analisis Model Pembelajaran

Model pembelajaran dalam kontek ini adalah terkait
dengan strategi penyampaian materi pembelajaran
kewirausahaan untuk mata sajian yang dekat
dengan kompetensi pengembangan sikap kewirausahaan
siswa yang dilakukan oleh guru, hasil wawancara
dan pengamatan tampak bahwa rata-rata guru
tidak membedakan model pembelajaran berdasarkan
kompetensi yang ingin dicapai dalam kurikulum,
artinya semua materi dalam kurikulum disampaikan
dengan model yang seragam, mulai dari model
ceramah, diskusi dan penugasan, tidak terdapat model
khusus yang dirancang untuk kompetensi tertentu.
Hasil penelitian mendapatkan informasi bahwa model
ceramah merupakan model yang lebih banyak digunakan,
model lain yang digunakan adalah model penugasan
menjual produk, serta model pengamatan, akan
tetapi kedua model tersebut hanya sesekali dilakukan
dengan pertimbangan waktu yang tersedia.

PEMBAHASAN
Nilai kewirausahaan siswa

Apabila dari angka hasil tes tersebut di analisis
tiap komponen nilai-nilai yang mesti terinternalisasi
siswa dapat dirinci sebagai berikut (a)Nilai Konfidensi/
kepercayaan diri berada pada rerata 15,788,
sesuai dengan pedoman tes bahwa nilai siswa yang
masuk dalam katagori memadai nilai konfidensinya
berada pada nilai mendekati 25, dengan demikian
maka masalah ini masih perlu menjadi perhatian dalam
merancang pembelajaran. (b)Nilai kreatifitas yang
merupakan salah satu komponen penting bagi kompetensi
seorang wirausaha, berdasarkan hasil tes diperoleh
angka 16,158 jika dikaitkan dengan nilai sempurna
sebesar 25, maka nilai kreativitas siswa masih

berada di sekitar rata-rata nilai ini mengindikasikan
bahwa pembelajaran kewirausahaan belum banyak
menginternalisasikan kreativitas sebagai nilai yang
tumbuh pada diri siswa. (c) Motivasi berprestasi terkait
dengan seberapa sungguh-sungguh seorang siswa
memiliki dorongan kuat menjadi wirausaha, dalam
pendidikan kewirausahaan, masalah ini merupakan
masalah utama yang harus terinternalisasi agar dapat
mengimplementasikan dalam tindakan bisnis, hasil tes
menunjukkan angka sebesar 14,681 angka ini masih
jauh dari angka sempurna sebesar 25, dengan
demikian pembelajaran kewirausahaan selama ini
masih belum banyak membentuk nilai yang positif
terhadap motivasi siswa untuk terus berkembang
dalam bidang kewirausahaan, padahal agar seseorang
memiliki kecukupan dalam mengekplorasi potentsi
dirinya perlu mostivasi berprestasi yang kuat (Robbins,

S.P. 1993) (d) Sikap terkait dengan tingkat keberanian
seseorang dalam mengambil keputusan bisnis yang
berisiko, ketakutan terhadap risiko atau terlalu berani
dengan risiko merupakan sikap yang harus dihindari
bagi seorang wirausahawan (Charney, A.,dkk., 2000)
hasil tes siswa terhadap nilai ini memperoleh angka
16,736 angka ini merupakan angka yang kurang ideal
sebab instrumen ini dirancang bahwa angka ideal
berada pada kisaran 20–25 (e) Sikap kepemimpinan
dirancang dalam tes ini sebesar 50, angka ideal
diharapkan berkisar antara 40–50. Di bawah angka
ini seseorang masih kurang ideal menjadi wirausaha.
Hasil tes diperoleh angka seabesar 28 berarti sangat
jauh dari nilai ideal, bisa jadi angka ini merupakan
indikator bahwa pembelajran kewirausahaan tidak
banyak menyentuh masalah internalisasi nilai-nilai
terkait dengan kepemimpinan dalam berwirausaha.
Analisis kurikulum, bahan ajar dan model
pembelajaran

Berdasarkan sajian kurikulum tampak bahwa
dari sebanyak 17 kompetensi yang diturunkan ke
dalam 81materi pembelajaran, hanya terdapat 10
materi pembelajaran (12%) yang terkait dengan ranah
afeksi dan relevan digunakan model pembelajaran
internalisasi, sementara yang materi yang lain (88%)
lebih kepada penambahan pengetahuan mengelola
bisnis, atau wawasan tentang keterampilan berbisnis
(kecakapan berbisnis).

JURNAL EKONOMI BISNIS | TAHUN 14 | NOMOR 2 | JULI 2009 128

Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang
Berdasarkan bahan tersebut tampak bahwa
bahan ajar yang diberikan lebih fokus kepada keterampilan
atau kecakapan dalam mengelola usaha serta
pola penyajian yang lebih bersifat penambahan
wawasan pengetahuan siswa, bukan disajikan dalam
bentuk bacaan yang dapat membentuk sikap kewirausahaan.
Demikian halnya model pembelajran yang
diterapkan oleh guru-guru kewirausahaan, materi
kewirauahaan lebih banyak disajikan dalam bentuk
ceramah dan sedikit penugasan terbatas, hal ini memberikan
indikasi bahwa ketidak relefannya model itu
jika dikaitkan dengan kompetensi yang akan dicapai,
dalam pengembangan nilai, seyogyanya model lebih
diarahkan kepada peningkatan kecakapan hidup
sesesorang (Bechaard P-Jean, 2005) Model internalisasi
relevan diterapkan meskipun model pembelajaran
sikap yang lain dapat digunakan. Model Internalisasi
adalah salah satu model yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran yang terarah pada ranah afeksi
(pembentukan sikap/nilai, pada dasarnya model
internalisasi mencakup lima tahap yakni: (1) tahap
transformasi nilai–dalam tahap ini pendidik sekedar
menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang
baik kepada siswa yang semata-mata komunikasi
verbal. (2) tahap transaksi nilai yakni suatu tahap
pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi
dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan
pendidik yang bersifat interaksi timbal balik secara
aktif. Dalam tahap ini pendidik tidak hanya memberikan
informasi tentang nilai-nilai tetapi juga terlibat
dalam proses menerima dan melaksanakan nilai-nilai
itu. (3) tahap transinternalisasi–pada tahab ini jauh
lebih dalam yang juga melibatkan tidak hanya aspek
pisik, tetapi telah menyangkut sikap mental kepribadian
baik bagi pendidik maupun peserta didiknya.

Untuk dapat menerapkan model pembelajaran
internalisasi, terdapat banyak ragam bisa dipilih oleh
guru tetapi prinsip yang mesti dikembangkan adalah
sebagai berikut:

Dimensi peserta didik:


Peserta didik harus terlibat secara emosional
atas topik yang dibahas bersama dengan guru.

Siswa memiliki keberanian dalam mengemukakan
dengan jujur atas minat, keinginan, pendapat
serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa
dalam proses belajar-mengajar. Keberanian itu
dapat terwujud karena direncanakan oleh guru
dengan memperhatikan suasana psikologis siswa


Proses belajar juga harus diikuti dengan sadar
dari dari siswa akan potensi kreatifitasnya dalam
menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat
mencapai suatu keberhasilan tertentu yang
memang dirancang oleh guru.

Pendekatan harus memunculkan suana menyenangkan
tanpa harus melalui gerakan phisik,
melainkan keterlibatan kesadaran atas hasil
rangsangan yang mampu dibuat oleh guru.
Dimensi Guru


Pendekatan yang dipilih guru diharuskan mampu
melibatkan emosional siswa sejak pertemuan
pertama, hal ini menuntut guru mempersiapkan
dengan matang perencanaan pembelajaran
dengan didahului memahami kondisi psikologis
siswa.

Guru hendaknya mampu mendorong siswa dalam
meningkatka kegairahan serta partisipasi
siswa secara aktif dalam proses belajarmengajar.
Hal ini dapat terjadi manakala kehadiran
guru diterima dengan terbuka oleh siswa
sebagai sahabat atau mitra belajar.

Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses
belajar-mengajar.

Pemberian kesempatan kepada siswa untuk
belajar sesuai dengan cara serta tingkat kemampuan
masing-masing.

Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis
strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi
media. Kemampuan mi akan menimbulkan
lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk
mencapai tujuan.
Dimensi Program


Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran
yang memenuhi kebutuhan, minat serta
kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang
sangat penting diperhatikan guru.

Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan
konsep maupun aktivitas siswa
dalam proses belajar-mengajar.
129 ISSN: 0853-7283

Agung Winarno Agung Winarno

Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan
dengan situasi dan kondisi.
Dimensi situasi belajar-mengajar


Situasi belajar harus didisain dalam suasana
santai dan menyenangkan

Situasi harus mampu menjelmakan komunikasi
yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa
maupun antara siswa sendiri dalam proses
belajar-mengajar.

Adanya suasana gembira dan bergairah pada
siswa dalam proses belajar-mengajar.

Direkomendasi untuk suasana yang tenang untuk
materi yanga menuntut perenungan, serta suasana
di tempat terbuka yang memungkinkan untuk
materi yang memerlukan ekpresi gerakan dan
suara siswa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Kecenderungan sikap atau nilai-nilai kewirausahaan
yang dimiliki siswa berdasarkan hasil tes menunjukkan
angka yang relatif belum optimal hal ini mengindikasikan
bahwa sikap kewirausahaan siswa belum
terbentuk dengan baik.

Hasil analisis kurikulum yang digunakan oleh
SMK menunjukkan bahwa kompetensi yang ingin
dicapai dengan sajian materi pelajaran kewirausahaan,
menunjukkan sedikit sekali materi yang diarahkan pada
pembentukan sikap/nilai namun lebih kepa penambahan
wawasan kewirausahaan dan keterampilan
mengelola bisnis.

Bahan ajar yang dipergunakan sebagai referensi
guru untuk matadiklat kewirausahaan sangat terbatas,
dari yang ada apabila dikaji berdasarkan pembentukan
nilai juga relatif terbatas, sebagian buku mendukung
penambahan pengetahuan tentang wirausaha serta
keterampilan mengelola usaha.

Model pembelajaran yang digunakan guru, hasil
penelitian juga menunjukkan minimnya variasi dan
tidak banyak yang menyentuh penggunaan model
yang mengarah pada pembentukan nilai-nilai (afeksi)

Saran

Mengingat pembelajaran dengan kompetensi
pada ranah nilai-nilai kewirausahaan lebih sulit

dirancang dibanding kecakapan berbisnis, maka perlu
kajian secara menyeluruh terutama terhadap kurikulum
serta bahan ajarnya

Model internalisasi sebagai alternatif dalam
pembelajaran, perlu diakukan uji coba berulang kali
guna menguji tingkat efektivitasnya pada pengembangan
nilai-nilai itu termasuk variasi model yang
dapat diterapkan guru

Panduan guru tentang penerapan model yang
mencakup penentuan masing-masing kompetensi,
langkah-langkah pembelajaran, serta bahan ajar yang
sesuai, sangat diperlukan dalam pengembangan model
pembelajaran internalisasi nilai-nilai kewirausahaan.

DAFTAR RUJUKAN

Anwar. 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills
Education) Konsep dan Aplikasi. Bandung:
Alfabeta.

Bogdan, Robert, C., and Biklen, S.K. 1998. Qualitatif Research
in Education: an introduction to theory and
methods, USA, A Viacom Company.

Charney, A., dkk. 2000. The Impact of Entreprenuership
Education:An Evaluation of the Berger Entreprenuerhip
Program at the University of Arizona,19851999,
Kansas City, The Kauffman Centre for
Enterprenuerial Leadership.

Choueke, dan Amstrong. 1988. The Learning Organization
in Small and Medium-size Enterprises, A destination
or a journey, International Journal of Entrepreneurial
Behavior & Research Vol.4 (2),129–140.

Depdiknas-Dikdasmen.2002.Kurikulum Berbasis
Kompetensi, Kurikulum Online http://www.puskur.
or.id

DEPDIKBUD.1994. Kurikulum SMU GBPP. Jakarta:
Pemerintah RI.

DEPDIKBUD. 1999. Kurikulum SMK Gasris Besar Program
Pendidikan dan Pelatihan Adaptif. Jakarta:
Pemerintah RI.

Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. 2004. Arah dan
Strategi Penyelenggaraan Pemelajaran Mata Diklat
Kewirausahaan di SMK.

Kuratko, D.F. 2003. Entreprenuership Education:Emergin
Trends and Challenger for The 21 Centure, The Entreprenuership
Program, dkuratko @bsu.edu.

Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pemerintah RI.1995. Intruksi Presiden No.4 tahun 1995
Tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan
Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK).

Jakarta: Pemerintah RI.

JURNAL EKONOMI BISNIS | TAHUN 14 | NOMOR 2 | JULI 2009 130

Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada SMK di Kota Malang
Robbins, S.P. 1993. Organizational Behavior, Sixth Edition.
Englowood Cliffs, New Jersey, Printice Hall Inc.

Sutjipto. 2001. Minat Siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMEA) terhadap Kewiraswastaan, www.
depdiknas.go.id

Winarno, A. 2004. Tinjauan Kritis Pendidikan Kejuruan
Berbasis Kewirausahaan, Jurnal Manajemen,
Akuntansi dan Bisnis, 2 (2), 107–114.

Winarno,A. 2007. Internalisasi Nilai-nilai Kewirausahaan:
pendekatan Fenomenologi pada SMK Negeri
3 Malang, Disertasi, tidak diterbitkan. Malang: Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.

 131 ISSN: 0853-7283

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes